Kamis, 12 Mei 2016

PEMBELAJARAN MULTIKULTURAL DENGAN TEKNIK BEREMPATI UNTUK MEREDAM PERILAKU STEREOTIPE DAN BERKONFLIK




PEMBELAJARAN MULTIKULTURAL DENGAN TEKNIK BEREMPATI UNTUK MEREDAM PERILAKU STEREOTIPE DAN BERKONFLIK
18:41 | Label: Artikel Ilmiah
Bambang Kariyawan Ys.Guru Sosiologi SMA Cendana Pekanbaru, Komplek Palem PT. CPI Rumbai,
bkariyawan@yahoo.com
Abstrak: Perilaku stereotipe berupa prasangka negatif terhadap kelompok sosial orang lain dapat menjadi benih-benih konflik yang dapat merusak keutuhan masyarakat Indonesia yang multikultural. Kondisi ini apabila dibiarkan akan merusak identitas dan karakter bangsa yang terbiasa menghargai beragam perbedaan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran multikultural dengan teknik berempati dan untuk mengetahui apakah pembelajaran multikultural dengan teknik berempati dapat meredam perilaku stereotipe dan berkonflik di kalangan siswa. Sekolah sebagai pencerminan kecil masyarakat multikultural menjadi tempat pembelajaran untuk mengatasi perilaku stereotipe dan berkonflik tersebut. Pembelajaran yang dapat dilakukan untuk meredam perilaku tersebut adalah dengan pembelajaran multikultural dengan teknik berempati. Pembelajaran yang dilakukan terdiri dari tahap pembagian kelompok multikultural, tahap mengungkapkan budaya sendiri dan penilaian budaya lain, tahap memecahkan masalah keragaman budaya, tahap mengekspresikan budaya, dan tahap refleksi pembelajaran. Dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan instrumen penelitian berupa observasi dan angket ditemukan hasil penelitian bahwa pembelajaran multikultural dengan teknik berempati dapat meredam perilaku stereotipe dan berkonflik di kalangan siswa. Data penelitian menunjukkan bahwa 80% siswa menjawab setuju dan sangat setuju untuk pernyataan yang berkaitan dengan pengaruh pembelajaran berempati terhadap pemahaman materi dan meredam perilaku stereotipe. Sebanyak 76% menjawab setuju dan sangat setuju untuk pernyataan yang berkaitan dengan pengaruh pembelajaran berempati terhadap meredam perilaku berkonflik. Pelaksanaan teknik berempati ini dapat menjadi alternatif pembelajaran yang dapat membentuk perilaku siswa agar lebih berkarakter dengan belajar menghargai beragam perbedaan.
Kata kunci: multikultural, teknik berempati, stereotipe, konflik
Abstract: Stereotype behavior like negative prejudice to the other social group could create conflict that destructing the wholeness of Indonesian multicultural community. This condition will undermine the nation’s identity and character that used to appreciate the differences. The purpose of this study is to discover the implementation of multicultural learning using emphaty technique and to determine whether the multicultural learning using emphaty technique would decrease conflicting and stereotype behavior among students. The school as a small reflection of multicultural community becomes learning place to cope the stereotype and conflicting behavior. The learning process that could be done to curb the negative behavior is multicultural learning with emphaty technique. The learning consist of the stage to forming multicultural group, expressing their own culture and assessing the other culture, solving the problem of cultural diversity, performing one kind of culture, and learning reflection. Through the use of qualitative descriptive analysis, observation, and survey questionnaire, it found that multicultural learning using empathy technique can reduce the stereotypes and the conflicting behavior among students. The result show that more than 80% students agree and strongly agree for the statement related to the effect of emphathize learning in increasing their understanding and reducing stereotype behavior. About 76% said agree and strongly agree that emphatize learning could reduce conflicting behavior. The implementation of emphatize technique can be an alternative of learning that can shape students behavior to be more character by learning to appreciate the differences.
Key words: multicultural, emphatize technique, stereotype, conflict
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Keadaan ini dapat dilihat dari sosio kultur maupun geografis yang begitu luas dan beragam dalam suku, agama, ras dan budaya. Tilaar (2004:5) mengungkapkan bahwa keragaman tersebut diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai persoalan yang sekarang dihadapi bangsa ini. Seperti korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan lingkungan, hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain, dan sikap primordialisme yang berlebihan pada kelompoknya sendiri sebagai bentuk nyata dari multikultural itu.
Perilaku-perilaku mengkuatirkan di atas dalam teori budaya dapat dikelompokkan dalam perilaku stereotipe berupa etnosentrisme, dan primordialisme. Perilaku-perilaku tersebut dapat dikatakan sebagai sumber konflik dari berbagai permasalahan sosial di dalam masyarakat. Perilaku stereotipe (prasangka), etnosentrisme (menilai dengan ukuran budaya sendiri), dan primordialisme (mengunggulkan daerah asal) sering berdampak dalam proses pembelajaran yang akan mengganggu kestabilan dan keutuhan berinteraksi siswa dalam proses belajar. Perilaku-perilaku mengedepankan prasangka dan keunggulan budaya dan daerah sendiri dapat dilihat dalam proses pembelajaran berupa penggunaan bahasa ibu, simbol-simbol budaya, dan berkelompok dengan alasan pemilihan karena sama suku atau latar belakang. Kondisi-kondisi tersebut jelas akan sangat mengganggu interaksi dalam proses belajar mengajar sebagai penanaman benih-benih konflik. Bila kondisi ini dibiarkan maka akan terbawa terus ke dalam pembiasaan anak didik di dalam masyarakat.
Kondisi ini merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain. Realitas multikultural tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali kebudayaan nasional Indonesia yang dapat menjadi integrating force (kekuatan ingin bersatu) yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut. Untuk membangun integrating force tersebut salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan pendekatan pendidikan multikultural sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman.
Sekolah sebagai pencerminan masyarakat multikultural menjadi tempat pembelajaran untuk menguatkan pemahaman atas keragaman tersebut. Salah satu mata pelajaran yang memiliki relevansi terhadap pemahaman keragaman latar belakang budaya adalah Sosiologi. Salah satu materi yang berhubungan dengan pemahaman keragaman budaya dan diajarkan dalam Sosiologi adalah Masyarakat Multikultural. Materi ini menjadi begitu penting ketika dihubungkan dengan pembentukan sikap saling menghargai perbedaan budaya dan masih kuatnya benih-benih perilaku stereotipe dan berkonflik di kalangan siswa. Untuk itu perlu teknik yang tepat dalam proses pembelajarannya. Salah satu teknik yang tepat menurut pengalaman penulis dengan menggunakan pembelajaran multikultural dengan teknik berempati.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran multikultural dengan teknik berempati?
2. Apakah pembelajaran multikultural dengan teknik berempati dapat meredam perilaku stereotipe dan berkonflik di kalangan siswa?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dapat disusun tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran multikultural dengan teknik berempati.
2. Untuk mengetahui apakah pembelajaran multikultural dengan teknik berempati budaya dapat meredam perilaku stereotipe dan berkonflik di kalangan siswa.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Memberikan alternatif pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial khususnya Sosiologi.
2. Memberikan alternatif upaya memecahkan benih-benih masalah sosial di kalangan siswa berupa perilaku stereotipe dan berkonflik.
Kajian Teori
A. Multikultural
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002:100) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Hendar (2009:153) melihat bahwa multikulturalisme mengacu pada doktrin yang berbasis pada kepercayaan akan pentingnya menghargai sekaligus mengakui keanekaragaman budaya. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai ajaran sosial yang menjadi alternatif dari kebijakan asimilasi. Multikulturalisme mensyaratkan politik pengakuan atas hak-hak warganegara dan identitas kultural dari kelompok minoritas etnis yang beraneka macam, dan sebuah afirmasi atas nilai keanekaragaman budaya.
Multikulturalisme sering disejajarkan dengan kemajemukan etnis dalam wacana publik, dan pada gilirannya, disejajarkan dengan multi-rasialisme (Hendar, 2009:155). Jangkauan yang meluas dari wacana multikulturalisme adalah sebuah refleksi dari kenyataan sosial yang terjadi di masyarakat barat kontemporer di mana kehadiran kaum pendatang yang membentuk komunitas-komunitas khusus menjadi faktor yang signifikan, yang tidak lagi bisa diabaikan, dalam dinamika interaksi antar kelompok dalam masyarakat yang tadinya hanya didominasi oleh orang-orang berkulit putih. Dalam konteks inilah multikulturalisme dipahami sebagai sebuah tanggapan terhadap kebutuhan nyata untuk mencegah, mengantisipasi, meminimalisasi potensi ketegangan atau gesekan antar etnis atau antar ras yang teramat mungkin terjadi.
B. Empati
Menurut Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Empati), empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan/emosi orang lain. Empati dapat juga diartikan kesanggupan untuk turut merasakan apa yang dirasakan orang lain dan kesanggupan untuk menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Empati membuat kita dapat turut merasa senang dengan kesenangan orang lain, turut merasa sakit dengan penderitaan orang lain, dan turut berduka dengan kedukaan orang lain.
Empati memungkinkan seseorang untuk menghayati masalah atau kebutuhan yang tersirat di balik perasaan orang lain, yang tidak hanya diungkapkan melalui kata-kata. Melalui empati, kita tidak hanya keluar diri dalam usaha memahami orang lain, tetapi juga melakukan pemahaman internal terhadap diri sendiri. Empati diperlukan dengan tiga pertimbangan berikut:
Pertama, kesadaran bahwa tiap orang memiliki sudut pandang berbeda akan mendorong siswa mampu menyesuaikan diri sesuai dengan lingkungan sosialnya. Dengan menggunakan mobilitas pikirannya, siswa dapat menempatkan diri pada posisi perannya sendiri maupun peran orang lain sehingga akan membantu melakukan komunikasi efektif.
Kedua, mampu berempati mendorong siswa tidak hanya mengurangi atau menghilangkan penderitaan orang lain, tetapi juga ketidaknyamanan perasaan melihat penderitaan orang lain. Merasakan apa yang dirasakan individu lain akan menghambat kecenderungan perilaku agresif terhadap individu itu.
Ketiga, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain membuat siswa menyadari bahwa orang lain dapat membuat penilaian berdasarkan perilakunya. Kemampuan ini membuat individu lebih melihat ke dalam diri dan lebih menyadari serta memperhatikan pendapat orang lain mengenai dirinya. Proses itu akan membentuk kesadaran diri yang baik, dimanifestasikan dalam sifat optimistis, fleksibel, dan emosi yang matang. Jadi, konsep diri yang kuat, melalui proses perbandingan sosial yang terjadi dari pengamatan dan pembandingan diri dengan orang lain, akan berkembang dengan baik (http://catur.dosen.akprind.ac.id/2009/02/06/perlunya-empati-dalam- pembelajaran/).
C. Stereotipe
Stereotipe adalah pendapat atau prasangka mengenai orang-orang dari kelompok tertentu, dimana pendapat tersebut hanya didasarkan bahwa orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok tertentu tersebut. Stereotipe dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian orang menganggap segala bentuk stereotipe negatif. Stereotipe jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang. (http://id.wikipedia.org/wiki/ Stereotipe).
Stereotipe itu bersifat unik dan berdasarkan pengalaman individu, namun kadang merupakan hasil pengalaman dan pergaulan dengan orang lain maupun dengan anggota kelompok kita sendiri. Hewstone dan Giles dalam Sutarno (2008:15) mengajukan kesimpulan tentang proses stereotipe:
1. Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota anggota kelompok tertentu berdasarkan sifat psikologis yang dimiliki. Semakin negatif generalisasi itu kita lakukan, semakin sulit kita berkomunikasi dengan sesama.
2. Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh terhadap proses informasi individu.
3. Stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu dan kelompok lain.
4. Stereotipe menghambat polaperilaku perilaku komunikasi kita dengan orang lain.
D. Konflik
Christ Mitchel dalam Benyamin Molan (2009:84) mendefinisikan konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Bahkan lebih dari itu konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi (Winardi dalam Benyamin, 2009:84).
Poloma (2007:126) mengatakan bahwa konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Nyata bahwa konflik berkaitan dengan perbedaan, ketidaksesuaian, oposisi atau pertentangan. Hal ini bisa terjadi kapan saja, terutama dalam masyarakat yang multikultural dengan beraneka ragam kepentingan dan sasaran. Konflik akan timbul kalau multikultural tidak dipahami dan dikelola dengan baik.
  Metode Penelitian
A. Langkah-Langkah Pembelajaran
Pembelajaran multikultural merupakan salah satu pembelajaran yang mementingkan proses kerjasama antar anggota kelompok yang terdiri dari beragam latar belakang budaya. Keragaman kelompok bukan sekedar terdiri dari bermacam perbedaan latar belakang anggota namun juga terjadi proses pemahaman dan kemauan saling menerima atas perbedaan tersebut. Proses pemahaman tersebut memerlukan teknik pengajaran yang tepat yang disebut dengan teknik berempati.
Adapun langkah-langkah pembelajaran dengan teknik berempati sebagai berikut:
1. Guru bersama siswa membagi kelas menjadi 5 kelompok multikultural dengan melihat beragam perbedaan latar belakang siswa (jenis kelamin, suku, agama, pekerjaan orang tua, dan kegiatan ekstrakurikuler).
2. Setelah kelompok terbentuk, guru menugaskan pada setiap kelompok untuk pertemuan berikutnya menyiapkan bahan presentasi budaya siswa. Kelompok 1 menyiapkan bahan presentasi budaya Melayu, kelompok 2 budaya Minang, kelompok 3 budaya Batak, kelompok 4 budaya Jawa, dan kelompok 5 budaya Tionghoa.
3. Mengungkapkan ciri khas budaya, suku, dan agama masing-masing dan saling mengungkapkan pengalamannya berinteraksi dengan budaya, suku, dan agama yang berbeda.
4. Menyelesaikan kasus-kasus secara kooperatif akibat keragaman budaya.
5. Mengekspresikan kebudayaan dengan menampilkan satu atraksi budaya yang disepakati anggota kelompok.
B. Subjek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa SMA Cendana Pekanbaru, kelas XI-IPS4 sejumlah 29 orang. Karakteristik siswa kelas yang menjadi subjek penelitian memiliki ragam perbedaan jenis kelamin, suku, agama, pekerjaan orang tua, dan kegiatan ekstra kurikuler.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi dengan mengamati proses pembelajaran multikultural dan angket untuk menganalisis hasil tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran dengan teknik berempati.
D. Validasi Instrumen Penelitian
Validasi instrumen penelitian dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana instrumen yang digunakan benar-benar mengukur apa yang seharusnya diukur. Seluruh butir-butir instrumen yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada butir-butir pengukuran dengan menggunakan validasi sejawat (sesama guru Sosiologi) dan validasi ahli (supervisor kependidikan). Hal ini memberikan dukungan bahwa butir-butir pengukuran yang dijadikan instrumen memiliki validitas isi, yaitu butir-butir pengukuran tersebut merupakan alat ukur yang mencukupi dan representatif yang telah sesuai dengan konsep teoritis.
E. Analisis Data
Penelitian ini dianalisis secara deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Burhan, 2007:68).
Hasil dan Pembahasan
A. Hasil Kegiatan Pembelajaran
Berdasarkan langkah-langkah pembelajaran yang telah diuraikan sebelumnya, maka diperoleh hasil kegiatan pembelajaran sebagai berikut:
1. Ketika proses pembagian kelompok multikultural berlangsung dapat diperoleh data berdasarkan pengamatan terhadap siswa sebagai berikut:
a. Proses awal ketika pendataan beragam latar siswa dengan menggunakan panduan pembentukan kelompok multikultural siswa masih berkelompok menurut jenis kelamin dan teman dekatnya saja. Kedekatan berupa kesamaan suku bangsa dan keanggotaan ekstrakurikuler.
b. Tahap ketika guru akan membagi kelompok berdasarkan beragam latar belakang budaya beberapa siswa menunjukkan sikap keberatan. Alasan yang diberikan antara lain: “Kami sudah punya kelompok yang solid. Kami sudah terbiasa bekerja sama dengan kelompok yang ada. Kami kuatir pekerjaan tidak akan selesai.”
c. Ketika proses pembagian kelompok berlangsung siswa masih berusaha menyatukan kelompok yang telah terbiasa. Hal ini terlihat dengan ajakan beberapa siswa untuk bergabung dengan kelompoknya.
d. Dengan memberikan pemahaman bahwa kelompok multikultural sebagai bagian dari proses belajar hidup bermasyarakat maka siswa mulai menerima kelompok yang telah terbentuk. Adapun contoh kelompok multikultural yang terbentuk setelah melakukan penyebaran beragam latar belakang budaya sebagai berikut:
Tabel 1. Daftar Kelompok Multikultural I
No. Nama Siswa (Inisial) Latar Belakang Sosial Siswa
1. FN Perempuan, Jawa, Islam, CPI, Paskib
2. DO Laki-laki, Batak, Kristen, CPI, Sispala
3. LD Perempuan, Tionghoa, Kristen, Wiraswasta, CEDS
4. SA Laki-laki, Minang, Islam, CPI, B Boy Dance
5. IG Laki-laki, Palembang, Islam, CPI, MB BCK
e. Namun proses akhir dari kelompok yang telah terbentuk, tetap ada beberapa gejolak kecil dengan alasan yang diberikan :”Susahlah Pak, kerjasama dengan si A. Dari dulu kalau kerjasama dengan dia selalu tidak pernah beres.”
2. Langkah proses mengungkapkan identitas budaya sendiri dan pengalaman berinteraksi dengan ragam budaya siswa lain diperoleh data sebagai berikut:
a. Dengan berpedoman pada penugasan yang diberikan guru. Setiap perwakilan siswa dengan latar belakang budaya tertentu tampil mempresentasikan budaya dan karakteristik budayanya.

Gambar 1. Bahan Presentasi Keragaman Budaya
Hal-hal yang diperoleh dari siswa ketika mengungkapkan budaya dirinya ditemukan beberapa pendapat yang mengarah pada mengunggulkan budayanya seperti:
“Menurut kami, orang Jawa sebagai orang yang paling sopan. Mengenal tatakrama. Suka menolong orang lain dan tulus.” (Siswa Jawa).
Berbeda dengan pendapat siswa Jawa, siswa Batak berpendapat “Menurut kami, orang Batak itu orang yang paling suka bekerja keras. Tidak suka bertele-tele. Paling kompak.” (Siswa Batak)
Namun siswa Minang berpendapat: “Menurut kami, orang Minang itu paling pintar berdagang. Sangat peduli dengan saudara.” (Siswa Minang).
”Orang Melayu paling pintar memelihara budaya” (Siswa Melayu).
Beda dengan pernyataan: ”Orang Tionghoa yang paling tekun dalam bekerja.” (Siswa Tionghoa).
b. Tahap ketika siswa memberikan pendapat tentang budaya yang berbeda dengan dirinya dapat disimpulkan bahwa ada kecenderungan bernada stereotipe seperti yang diungkapkan oleh siswa:
“Menurut kami orang Jawa itu selain selalu pasrah pada nasib dan terlalu banyak basa-basi.”
“Menurut kami orang Batak itu temperamental dan tidak peduli dengan orang yang berbeda suku dengannya.”
”Menurut kami orang Minang itu terlalu perhitungan.”
”Menurut kami orang Melayu itu tidak suka bekerja keras dan banyak menghayal.”
“Menurut kami orang Tionghoa itu tidak suka membaur dengan orang lain.”
c. Dengan menggunakan pedoman pengamatan terhadap proses pembelajaran tahap ini diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil Pengamatan Terhadap Proses Pengungkapan dan Penilaian Budaya
No. Nama Kelompok Partisipasi Anggota dalam Kelompok Keterangan
1 2 3 4 5
1. I √ Baik
2. II √ Baik Sekali
3. III √ Baik Sekali
4. IV √ Baik
5. V √ Baik Sekali
Keterangan: 1: Kurang Sekali, 2: Kurang: 3: Cukup, 4: Baik, 5: Baik Sekali
3. Tahap penyelesaian kasus keragaman budaya berlangsung selama proses pembelajaran diperoleh data sebagai berikut:
a. Secara umum terhadap kasus yang diberikan siswa menjawab tidak setuju dengan perilaku memberikan kemudahan pada yang berlatar belakang budaya yang sama. Salah satu jawaban kelompok antara lain:
”Sebuah tindakan yang tidak fair, namun realitanya masih banyak kondisi yang dialami Hamid masih terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun tidak bisa dipungkiri kedekatan itu diperlukan namun di era sekarang kalau kita mau maju maka prestasi yang diperoleh siapapun harus dijunjung tinggi.”
b. Dengan menggunakan pedoman pengamatan terhadap proses pembelajaran diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil Pengamatan Terhadap Proses Pembelajaran Penyelesaian Kasus Budaya
No. Nama Kelompok Partisipasi Anggota dalam Kelompok Keterangan
1 2 3 4 5
1. I √ Baik Sekali
2. II √ Baik Sekali
3. III √ Baik Sekali
4. IV √ Baik
5. V √ Baik Sekali
Keterangan: 1: Kurang Sekali, 2: Kurang: 3: Cukup, 4: Baik, 5: Baik Sekali

Gambar 2. Kerjasama Siswa dalam Memecahkan Masalah Keragaman Budaya
4. Tahap siswa mengekspresikan budaya berlangsung diperoleh data sebagai berikut:
a. Siswa membawakan beragam ekspresi budaya berupa lagu daerah, pantun, dan drama singkat berisi beragam dialek bahasa daerah.
Adapun yang dihasilkan oleh setiap kelompok sebagai berikut:
Tabel 4. Hasil Penampilan Ekspresi Budaya Kelompok Multikultural
No. Nama Kelompok Jenis Penampilan Hasil
Angka Proses
1. I Lagu Jawa Gambang Suling 75 Ada 2 siswa yang tidak hapal dan kurang ekspresif
2. II Berbalas Pantun 78 1 siswa masih memegang teks
3. III Lagu Batak Sinanggartulo 82 Siswa tampil dengan peralatan yang lengkap
4. IV Drama Singkat Dialek Daerah 85 Semua anggota mampu berdialek dengan baik dan mengundang kelucuan
5. V Lagu Minang Kampuang Nan Jaoh di Mato 77 Siswa menunjukkan keseriusan dengan menggunakan talempong tapi kurang ekspresif

Gambar 3. Kelompok Multikultural Mengekspresikan Budaya
b. Dengan menggunakan pedoman pengamatan terhadap penampilan ekspresi budaya diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 5. Hasil Pengamatan Terhadap Penampilan Ekspresi Budaya
No. Nama Kelompok Partisipasi Anggota dalam Kelompok Keterangan
1 2 3 4 5
1. I √ Baik
2. II √ Baik
3. III √ Baik Sekali
4. IV √ Baik Sekali
5. V √ Baik
Keterangan: 1: Kurang Sekali, 2: Kurang: 3: Cukup, 4: Baik, 5: Baik Sekali
Alasan pemilihan atraksi budaya yang ditampilkan menurut anggota kelompok sebagai berikut:
”Lagu Gambang Suling sudah familiar di telinga kami.” (Siswa Tionghoa).
”Kami tinggal di Riau sebagai bumi Melayu maka pantun pun perlu kami pelajari.” (Siswa Melayu).
”Menyanyikan lagu Batak membuat kami semangat.” (Siswa Minang).
”Memainkan drama ini membuat kami bisa belajar dialek daerah lain.” (Siswa Batak).
”Lagu ini membuat kami terkenang saat studi tour SMP saat ke Sumbar.” (Siswa Jawa).
5. Setelah selama tiga kali pertemuan dilaksanakan pembelajaran multikultural dengan teknik berempati dilakukan tahap melakukan evaluasi terhadap proses pembelajaran secara keseluruhan. Tahap ini dilaksanakan dengan mengisi angket dan refleksi terhadap proses pembelajaran. Adapun hasil angket yang telah diisi oleh siswa diperoleh hasil dan gambaran sebagai berikut:
a. Angket Pengaruh Pembelajaran Berempati terhadap Pemahaman Materi.
Angket ini terdiri dari empat pernyataan sebagai berikut:
1) Pembelajaran teknik berempati membuat kalian lebih memahami materi yang diajarkan.
2) Pembelajaran teknik berempati sesuai dengan tujuan pembelajaran.
3) Langkah-langkah dalam pembelajaran teknik berempati mudah untuk diikuti.
4) Contoh-contoh dalam pembelajaran teknik berempati sesuai dengan realita yang ada di masyarakat.
Adapun rekapitulasi jawaban siswa dapat dilihat pada Diagram 1.
Diagram 1. Rekapitulasi Jawaban Siswa pada Angket Pengaruh Pembelajaran Berempati
terhadap Pemahaman Materi

Berdasarkan Diagram 1 terlihat bahwa lebih dari 80% siswa menjawab setuju dan sangat setuju untuk pernyataan yang berkaitan dengan pengaruh pembelajaran berempati terhadap pemahaman materi
b. Angket Pengaruh Pembelajaran Berempati terhadap Perilaku Stereotipe
Empat pernyataan yang tertuang dalam angket adalah sebagai berikut:
1) Pembelajaran teknik berempati membuat kalian memahami perbedaan orang lain.
2) Pembelajaran teknik berempati dapat mengurangi prasangka buruk terhadap orang lain.
3) Pembelajaran teknik berempati membuat kita menyadari bahwa setiap budaya kita memiliki ciri khas tersendiri.
4) Pembelajaran teknik berempati membuat kalian bisa menilai bahwa budaya orang lain sama baiknya dengan budaya kalian.
Diagram 2 menampilkan rekapitulasi jawaban siswa terhadap angket:
Diagram 2. Rekapitulasi Jawaban Siswa pada Angket Pengaruh Pembelajaran Berempati
terhadap Meredam Perilaku Stereotipe

Serupa dengan respon siswa untuk angket pengaruh pembelajaran berempati terhadap pemahaman materi, lebih dari 80% siswa juga menjawab setuju dan sangat setuju untuk angket pengaruh pembelajaran berempati terhadap perilaku stereotipe.
c. Angket Pengaruh Pembelajaran Berempati terhadap Perilaku Berkonflik.
Angket ini terdiri dari empat pernyataan yang meliputi:
1) Pembelajaran teknik berempati membuat kalian menjadi lebih sabar melihat perilaku yang berbeda dengan kalian.
2) Pembelajaran teknik berempati membuat kalian bisa menghindari untuk bertengkar bila terjadi perbedaan pendapat.
3) Pembelajaran teknik berempati membuat kalian mau mendengarkan orang lain berpendapat.
4) Pembelajaran teknik berempati dapat membuat kalian belajar bekerjasama dengan orang lain.
Rekapitulasi jawaban siswa lebih jelas dapat dilihat pada Diagram 3.
Diagram 3. Rekapitulasi Jawaban Siswa pada Angket Pengaruh Pembelajaran Berempati
terhadap Meredam Perilaku Berkonflik

Sedikit berbeda dengan kedua diagram sebelumnya, Diagram 3 menampilkan bahwa hanya dua pernyataan yaitu satu dan tiga yang mendapat respon lebih dari 80% siswa untuk kategori setuju dan sangat setuju, sementara pernyataan dua dan empat mendapat respon setuju dan sangat setuju sebanyak 76% untuk pernyataan yang berkaitan dengan pengaruh pembelajaran berempati terhadap perilaku berkonflik.
d. Berdasarkan angket terbuka untuk pertanyaan “Pengalaman apa yang kalian dapatkan ketika berkelompok dalam kelompok multikultural?” Ditemukan rekapitulasi jawaban siswa antara lain:
”Kami jadi lebih mengetahui teman yang bersuku lain.”
”Kami jadi tahu lebih jauh budaya dan kebiasaan teman-teman kami.”
”Ternyata kelompok lain punya kelebihan yang tidak dimiliki kelompok kami.”
”Ternyata Indonesia sebagai bangsa yang sangat kaya budaya”.
”Pengalaman bekerjasama yang menyenangkan bekerjasama dengan orang yang berbeda dengan kita.”
e. Berdasarkan angket terbuka untuk pertanyaan “Bagaimana menurut kalian proses pelaksanaan pembelajaran multikultural dengan menggunakan teknik berempati ini?” Ditemukan rekapitulasi jawaban siswa antara lain:
”Menyenangkan karena kami diajarkan bagaimana memahami materi dengan belajar memecahkan masalah bersama.”
”Teknik ini membuat kami ingin merasakannya kembali pada materi Sosiologi berikutnya.”
”Dengan belajar seperti ini kami belajar saling menghargai dan tidak mengunggulkan kelompok sendiri.”
B. Pembahasan
Pembelajaran multikultural dengan teknik berempati merupakan pembelajaran yang menuntut kerjasama dan pemahaman bersama terhadap keberadaan anggota kelompok lain yang berbeda ragam latar budaya. Pembelajaran model ini mengacu pada pembelajaran berbasis multikultural menurut Suparlan Al Hakim (2007).
Tabel 6. Model Pembelajaran Berbasis Multikultural Menurut Suparlan Al Hakim
No. Tahap Kegiatan
1. Studi eksplorasi diri dan lingkungan sosial budaya (lokal) siswa yang potensial dengan substansi multikultural
2. Presentasi hasil eksplorasi
3. Peer group analysis
4. Expert opinion
5. Refleksi, rekomendasi dan membangun komitmen
Melalui pentahapan tersebut langkah-langkah yang telah dilakukan dalam pembelajaran multikultural dengan teknik berempati telah mengikuti alur yang jelas maknanya. Adapun penjelasan pentahapan terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan sebagai berikut:
1. Tahap Pembagian Kelompok Multikultural
Tahap awal sebagai tahap eksplorasi diri dan lingkungan sosial telah dilakukan dengan membagi kelompok multikultural. Pada tahap ini siswa masih merasa segan untuk bergabung dengan kelompok lain yang belum terlalu akrab dengannya. Kondisi ini sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa ketika proses berinteraksi dengan masyarakat baru maka beragam persepsi muncul terhadap keberadaan orang lain tersebut. Kondisi segan dan persepsi inilah yang harus dileburkan untuk membuka proses perkenalan dan mau menerima keberadaan orang yang berbeda dengan kita.
2. Tahap Mengungkapkan Budaya Sendiri dan Penilaian Budaya Lain
Proses presentasi dengan melakukan pengungkapan diri atas kelompoknya dan kelompok orang lain memerlukan kesabaran tersendiri untuk menerima ungkapan orang tentang dirinya dan kritikan tentang diri kita. Sikap ingin melebihkan kelompok sendiri tidak mungkin dihindari untuk diungkapkan. Namun melalui pengungkapan diri secara bersama dalam suasana dialog maka lambat laun kondisi ini akan mencair. Mengingat setiap kelompok mempunyai posisi yang sama. Di sinilah letak pentingnya pembelajaran multikultural dengan teknik berempati, proses kebekuan karena keegoaan kelompok diharapkan mencair seiring terhadinya proses dialog. Penilaian stereotipe terhadap budaya sendiri perlu disikapi secara positif karena pola pikir yang telah tertanam hanya dengan suasana kooperatif dalam dialog.
3. Tahap Memecahkan Masalah Keragaman Budaya
Pada tahap ini kelompok multikultural yang terbentuk mulai meleburkan diri dalam memecahkan satu permasalahan. Pembelajaran kooperatif multikultural dengan teknik empati budaya bertujuan untuk meleburkan diri dalam kebersamaan. Permasalahan keragamanan budaya disusun sebagai masalah yang akan mampu memberikan respon untuk setiap kelompok budaya.
4. Tahap Mengekspresikan Budaya
Pada tahap ini beragam perbedaan telah melebur dalam suasana yang lebih cair melalui ekspresi seni budaya. Seni memang menjadi melting pot (tempat pertemuan) untuk mencairkan kebekuan dan keegoan kelompok. Kesepakatan memilih satu atraksi budayapun membutuhkan kebesaran jiwa dari anggota kelompok yang lain mengingat keinginan untuk menonjolkan budaya sendiri akan selalu ada. Namun dengan belajar menerima kesepakatan dalam pembelajaran kooperatif multikultural maka proses belajar kebesaran jiwa untuk toleransi terhadap penonjolan budaya orang lain perlu dibiasakan.
5. Tahap Refleki Pembelajaran
Pada tahap ini siswa telah meleburkan dalam kebersamaan dan telah memandang secara positif terhadap kelompok budaya siswa lain. Siswa telah belajar banyak tentang pentingnya menghargai perbedaan. Lebih jauh secara tidak sadar perilaku stereotipe dan berkonflik siswa telah terkurangi dan teredam melalui pembelajaran multikultural dengan teknik berempati ini.
Penutup
A. Kesimpulan
1. Pelaksanaan pembelajaran multikultural dengan teknik berempati dilaksanakan dengan beberapa tahap yaitu tahap pembagian kelompok multikultural, mengungkapkan dan menilai budaya, memecahkan masalah budaya, dan mengekspresikan budaya.
2. Pembelajaran multikultural dengan teknik berempati dapat meredam perilaku stereotipe dan berkonflik di kalangan siswa.
B. Saran
1. Pembelajaran multikultural dengan teknik berempati perlu lebih dikembangkan sebagai model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk pembelajaran ilmu sosial.
2. Perlu disusun pentahapan pembelajaran yang lebih terstruktur sehingga dapat dijadikan acuan dalam proses pembelajaran.
3. Pelaksanaan teknik berempati ini dapat diusulkan sebagai alternatif pembelajaran yang dapat membentuk perilaku siswa agar lebih berkarakter dengan belajar menghargai beragam perbedaan.
Daftar Pustaka
Benyamin Molan. 2009. ”Mengelola Konflik dan Resolusi Konflik”. Dalam
Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan.Jakarta: Indeks.
Burhan Bungin. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
Catur. 2009. Perlunya Empati dalam Pembelajaran, (Online),
(http://catur.dosen.akprind.ac.id/2009/02/06/perlunya-empati-dalam-pembelajaran/,
diakses 9 Mei 2010).
H.A.R. Tilaar. 2004. Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global Masa Depan
dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
Hendar Putranto. 2009. ”Wacana Multikulturalisme dilihat dari Perspektif Historis-Politis”. Dalam Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan. Jakarta: Indeks.
Parsudi Suparlan. 2002. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”.
Jurnal Antropologi Indonesia 69, hlm. 98-105.
Poloma, Margaret M. 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Suparlan Al Hakim. 2007. Pembelajaran Berbasis Multikultural dalam Model-Model Pembelajaran Inovatif. Malang: LP3 UM.
Sutarno. 2008. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar